Untitled Document
 
Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat.  "PINAKA WIRA TAMA SAPTAMARGA"
 
 
Rabu, 2 April 2025
BRIGJEN TNI RIDWAN, S.Sos.
KADISBINTALAD
LINK TERKAIT
 
SOSIAL MEDIA
 
 



Teologi Beramal
26-Feb-2021, 07:14:34 WIB


TEOLOGI  BERAMAL

  Khutbah I
الحَمْدُ للهِ الّذِي خَلَقَ الخَلْقَ لِعِبَادَتِهِ، وَأَمْرُهُمْ بِتَوْحِيْدِهِ وَطَاعَتِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَكْمَلُ الخَلْقِ عُبُودِيَّةً للهِ، وَأَعْظَمَهُمْ طَاعَةً لَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ. اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ. وقال أيضاً: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ   Jamaah shalat jumat rahimakumullah, Beribadah atau lebih tepatnya mengabdi kepada Allah adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia.Baik itu ibadah dalam pengertian yg makhdah maupun yang ghoira makhdah.  Hal ini selaras dengan perintah yang tertuang dalam Al-Qur’an bahwa manusia dan jin diciptakan untuk tujuan mengabdi kepada-Nya. (wama kholaqtul jinna...) Meskipun, baik kita beribadah maupun durhaka sesungguhnya sama sekali tak mempengaruhi sedikit pun keagungan Allah. Ibadah merupakan kebutuhan bagi diri manusia sendiri. Ada yang dinamakan garizah tadayun (naluri beragama) pada manusiakhususnya. NAMUN Yang menjadi persoalan kita saat sekarang adalah menjadikan beribadah hanya sebuah tujuan pragmatis, memposisikan penghambaan sebatas keinginan bukan kebutuhan apa lagi keikhlasan. (bukankah Allah berfirman : wamma umiruu illa...) Makna pengabdian seakan menjadikan kita tidak serius sebagai hamba Allah. Terkadang kita patut merenungkan pula apa yang disampaikan Rasullah SAW dalam sebuah hadisnya > yang diriwayatkan oleh Imran bin Hussain,  خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)   Pada lanjutan Membaca kalimat Hadis di atas, sesungguhnya bahwa keutamaan 3 generasi awal itu bukan semata-mata soal keimanan mereka tapi juga soal penegakkan hukum dan moral. Mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling mengetahui dalam memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang memiliki keshalihan yang tertinggi (as-salafu ash-shalih).   Generasi selanjutnya menjadi redup sinarnya karena mereka telah memainkan kesaksian, nazar, dan fatwa sehingga mereka bergelimang harta duniawi yang dicirikan dengan tubuh mereka yang gemuk sebagai simbol kemakmuran. Amalan umat di akhir zaman saat ini, seakan sampai apa yang di nyatakan Rasulullah di atas. kita tidak berkualitas Jamaah shalat jumat rahimakumullah, Amal yang berkualitas hanya didapatkan oleh muslim yang berkualitas juga. Muslim yang melakukan amalnya dengan penuh keihklasan karena Allah SWT.  ia tidak mencampur baurkan antara amal dan pamer. Bahkan Ibn Katsir menyatakan bahwa diantara sifat-sifat mukmin adalah mereka memberikan dan melakukan sesuatu, namun ia takut akan tidak diterimanya amal perbuatan tersebut. Pernyataan tersebut bersumberkan langsung dari ayat QS Al-Mu’minun: وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Sering kali kita lupa dengan cara Allah menuntun kita membuka jalan menuju ladang amal kebaikan. Allah membentangkan banyak kesempatan untuk menunaikan janji, mengabdi dan mengamalkan apa yang Tuhan ajarkan. Lantas Allah memberikan ganjaran kepada hamba yang mau melaksanakan. Sebenarnya semua itu karuniaNya kepada kita karena Dia lah yang menciptakan amal untuk kemudian kita turut mengerjakannya. Maka pada setiap amal pekerjaan kita, niatkanlah sebagai bentuk pengabdian kita untukNya. Mengapa demikian? Amal itu bermula dariNya dan kita kembalikan hanya kepadaNya. Dia lah yang Awal dan Dia pula yang Akhir. Inilah teologi amal. Jamaah shalat jumat rahimakumullah, Secara keseluruhan prinsip Islam bertumpu pada tauhid. Hal inilah yang merupakan inti atau ruh Islam. Dengan kata lain tauhid merupakan konsep sentral dan sangat fundamental dalam Islam. Tauhid secara kebahasaan berarti keesaan atau kesatuan, yaitu keesaan Tuhan. Ulama menyebutkan bahwa pengertian tiada Tuhan selain Allah adalah tiada yang layak disembah selain-Nya, ketundukan hanya tertuju pada-Nya. Kepasrahan dan atau ketundukan secara essensial yang diharapkan untuk diberikan oleh setiap Muslim kepada Allah adalah seseorang yang menyerahkan segenap dirinya kepada Sang Pencipta Tunggal. Takdiragukan lagi esensi ajaran Islam itu sendiri adalah tauhid -suatu afirmasi atau pengakuan bahwa Allah adalah Maha Esa, Pencipta yang mutlak dan transenden, serta Raja dan Penguasa alam semesta. Pernyataan “Tiada Tuhan selain Allah” cukup singkat dan padat namun memiliki makna yang sangat kaya dalam ajaran Islam sebagai suatu keseluruhan sistem. Bahkan terkadang seluruh kebudayaan, peradaban atau sejarah kehidupan termuat dalam kalimat tersebut.  Rukun Islam, Syahadat, yaitu pengakuan seorang Muslim bahwa “aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah” bukanlah sekedar penegasan atas eksistensi Tuhan melainkan juga persaksian bahwa Allah merupakan satu-satunya realitas sejati, bentuk eksistensi sejati. Semua wujud yang terlihat ada dan memiliki sifat-sifat seperti ini hanya meminjam keberadaan dan sifat tersebut dari wujud essensial ini. Mengucapkan penegasan ini menuntut kaum Muslim untuk mengintegrasikan kehidupan mereka dengan menjadikan Allah sebagai fokus dan prioritas tunggal mereka. Mengatakan bahwa Allah itu satu bukan sekedar sebuah definisi numerik, melainkan seruan untuk menjadikan seruan keesaan tersebut sebagai faktor pengendali kehidupan individu dan  masyarakat. Keesaan Tuhan dapat terpantul dalam diri yang benar-benar terintergrasi dengan-Nya. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam waktu kapanpun. Dalam pandangan Muslim yang benar, Tuhan bukanlah semata-mata sebagai ‘sebab pertama’ sebagaimana dideskripsikan sementara teolog dan ultimat yang tinggi. Melainkan lebih dari itu, yaitu bahwa Dia adalah inti kenormativan. Tuhan sebagai inti kenormativan berarti bahwa Dia adalah Dzat yang Mahamemerintah. Gerakan-gerakan-Nya, pemikiran-pemikiranNya, serta perbuatan-perbuatan-nya adalah realitas-realitas yang mustahil untuk dipungkiri dan diragukan. Tiap-tiap dari hal ini, sepanjang manusia memahaminya, merupakan suatu nilai baginya serta suatu keharusan. Dalam konteks amal yang berkualitas, Ibn Athaillah As-Sakandari menyampaikan kalam hikmahnya dalam kitab Al-Hikam sebagai berikut: حُسْنُ الْأَعْمَالِ نَتَائِجُ حُسْنِ الْأَحْوَالِ وَحُسْنُ الْأَحْوَالِ مِنَ التَّحَقُّقِ فِي مَقَامَاتِ الْإِنْزَالِ. Berkualitasnya amal merupakan buah dari kualitas kondisi manusia; dan kualitas kondisi manusia muncul dari kesungguhannya menapaki derajat-derajat dalam menempuh perjalanan meraih ridha Allah.”   Menurut beliau, amal yang berkualitas itu tidak jauh jatuh dari kualitas kondisi manusia itu sendiri. Jika manusia memiliki kondisi hati yang bersih, rasa cinta yang tinggi, dan mengagungkan Allah maka ia berpotensi untuk melahirkan amal yang berkualitas. Adapun kualitas kondisi manusia itu bisa ditempuh dengan berbagai level dalam perjalanan meraih ridha Allah. Karena itu, dibutuhkan kualitas kondisi diri sendiri sebelum memiliki amal yang berkualitas. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan menjelaskan bahwa kondisi diri yang berkualitas itu bisa terlihat dari kondisi hati manusia seperti cinta, ikhlas dan takut kepada Allah. Misal saja seseorang melakukan ibadah sunnah sepanjang malam, jika ia murni karena cintanya kepada Allah atau karena taat menjalankan ajaranNya maka ia ikhlas melakukan amalan tersebut murni karena Allah. Tanpa update status dilanda rasa kantuk di pagi hari karena kurannya tidur atau merasa paling keren diantara yang lainnya. Kalam hikmah Ibn Atha’illah As-Sakandari tersebut meninggalkan pesan yang begitu indah. Pesan dimana seorang hamba yang melakukan ibadah bisa dianggap berkualitas dan diterima oelh Allah jika melakukannya denga penuh keikhlasan dan terhindar dari berbangga diri. Tentunya amal yang berkualitas tersebut ditempuh dengan cara yang konsisten menapaki satu persatu derajat dalam meraih ridha Allah, mulai dari taubat, sabar, ridha dan seterusnya. Seiring dengan firman Allah: وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ Dan tobatlah kepada Allah kalian semua wahai orang-orang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. an-Nur: 31) Mengenai Ibadah yang berkualitas, Filsuf Muslim Abu ʿAli al-Ḥusayn ibn ʿAbd Allah ibn Sina atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina membagi motivasi beribadah menjadi tiga hal. Jamaah shalat jum’at rahimakumullah, PERTAMA, MOTIVASI ALA PEDAGANG. Seseorang beribadah karena didorong oleh keuntungan timbal balik dari sesuatu yang ia keluarkan. Ia menunaikan shalat, puasa, zakat, bersedekah, menolong sesama, atau lainnya dengan penuh pengharapan bahwa balasan surga kelak ia dapat. Alasan seseorang rela berlapar-lapar puasa di alam fana ini adalah sebab di akhirat nanti ia bakal kenyang; susah-susah bangun malam untuk sembahyang tahajud sebab ia tahu ada kelezatan yang bakal diperoleh dari jerih payah itu. Segenap ibadah di dunia pun menjadi semacam modal dan aktivitas perniagaan, dengan kenikmatan surgawi sebagai laba yang diidam-idamkan. Logikanya, siapa yang berinvestasi maka akan menuai hasilnya. Siapa yang menanam, akan memanen. Dan Al-Qur’an sendiri di beberapa tempat mengabarkan bahwa siapa pun yang beriman dan berbuat baik akan mendapatkan surga. (QS. At Taghobun) Bahkan janji itu dideskripsikan dengan mengambil kiasan surga yang berisi sungai-sungai mengalir, buah-buahan, juga bidadari. Ini adalah gambar dari keuntungan yang bakal diperoleh bagi orang-orang yang bersusah payah mengisi kehidupan dunia yang sementara ini dengan iman dan amal shalih. YA KEDUA ADALAH MOTIVASI ALA BUDAK ATAU BURUH.  Kata kunci dari dorongan beribadah ini adalah ketakutan. Seorang hamba menjalankan ibadah kepada Allah karena dibayang-bayangi ancaman akan siksaan api neraka. Bak seorang buruh yang takut majikannya, ia menunaikan tugas dalam rangka menghindari penderitaan di kehidupan kelak. Orang dengan motivasi ini biasanya beribadah untuk sekadar lepas status sebagai hamba durhaka. Adzab-adzab yang dipaparkan dalam kitab suci menjadi pemicu kuat mengapa ia harus melakukan “ini” dan menghindari “itu”. Baginya manusia sudah terlanjur diciptakan dan kini manusia harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Konsekuensi dari pelanggaran atas kewajiban tersebut sudah sangat jelas, yakni siksa api neraka. (QS. BAYYINAH) YANG KETIGA ADALAH MOTIVASI ORANG ‘ARIF (MENGENAL ALLAH). Bagi orang jenis ini, beribadah adalah sebuah keniscayaan setelah menyaksikan betapa dahsyatnya karunia yang Allah berikan kepada alam semesta ini; setelah menghayati kebijaksanaan dan kemahasempurnaan Allah kepada makhluk-makhluknya. Karena itu, yang menonjol dalam ibadah mereka adalah keikhlasan yang mendalam. Bukan kenikmatan surgawi yang ia buru. Ia juga tidak risau kalaupun harus ditempatkan di neraka. Bahkan orang-orang seperti ini umumnya merasa tidak layak menerima ganjaran surgawi lantaran rasa fakirnya di hadapan keagungan Allah subhanahu wata’ala. Sebab yang paling penting bagi mereka adalah menunaikan ibadah sebagai sebuah keharusan, urusan ditempatkan di mana saja adalah hak prerogatif Allah.  Allah memiliki kekuasaan penuh atas keputusan untuk hamba-Nya yang dla’if itu. Tipe yang terakhir ini mengingatkan kita kepada kisah seorang ulama sufi kenamaan Fudlail ibn 'Iyadl. Dalam kitab Raudlatuz Zâhidîn ‘Abdul-Malik ‘Alî al-Kalib diceritakan, suatu hari ia berkata, "Seandainya saya diminta memilih antara dua hal, yakni dibangkitkan lalu dimasukkan surga atau tidak dibangkitkan sama sekali, saya memilih yang kedua." (Baca: Malu Masuk Surga) Fudlail malu. Ia merasa tak pantas menerima ganjaran pahala seandainya ia memang mendapatkannya. Tentu beliau bukan sedang ingkar terhadap surga dan kebahagiaan di dalamnya. Gejolak jiwanya lah yang mendorongnya bersikap semacam itu. Kecintaan Fudlail yang memuncak kepada Tuhannya menghilangkan angan-angan akan pamrih apa pun. Kebaikan yang ia lakukan tak ada bandingnya dengan anugerah-Nya yang melimpah. Bahkan kesanggupannya berbuat baik sesungguhnya adalah secuil dari anugerah itu sendiri. Suatu hari seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Fudlail ibn ‘Iyâdl, “Wahai Abu Ali, kapan seseorang mencapai tingkat tertinggi cinta kepada Allah ta'ala?" "Ketika bagimu sama saja: Allah memberi ataupun tidak. Saat itulah kau di puncak rasa cinta," jawab Fudlail. Sebagaimana manusia, surga dan neraka adalah makhluk. Fudlail berpandangan, Allah adalah hakikat tujuan hidup. Hal ini tercermin dalam tafsirnya terhadap kalimat “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn". Kita semua hamba Allah, dan kepada-Nya pula kita kembali. Kehambaan yang total membuahkan kesadaran bahwa diri ini tergadai hanya untuk memenuhi permintaan Sang Tuan. Tulus murni tanpa berharap imbalan sedikit pun. Jamaah shalat jum’at rahimakumullah, Sudahkah kita beribadah dengan baik dalam kehidupan yang singkat ini? Kalaupun sudah beribadah, di posisi manakah kita di antara tiga motivasi tersebut? Apakah kita beribadah karena ingin mengejar kenikmatan, menghindari siksaan, atau karena kesadaran diri yang penuh sebagai hamba sejati? Ketiga motivasi tersebut tentu tidak ada yang salah karena seluruhnya mendapat pembenaran dalam Al-Qur’an.(LAYUKALIFULLOHU NAFSAN ILLA WUSAHA)  Hanya saja, motivasi terakhir adalah motivasi yang paling menunjukkan kedewasaan seseorang sebagai hamba. Ia tak terlalu disibukkan dengan iming-iming kelezatan atau ancaman penderitaan layaknya kanak-kanak saat mematuhi perintah atau larangan orang tuanya. Semoga kita senantiasa dikarunia Allah petunjuk sehingga kita bisa terus meningkatkan kualitas ibadah kepada-Nya. Pencapaian tertinggi tentu butuh kerja keras, karenanya kita berdoa semoga kita bukan termasuk orang-orang malas belajar dan berusaha.    بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم  

 



 

 

  Copyright @ 2012 - disbintalad